Minggu, 29 September 2019

Makalah Fakta dan Konsep Pembelajaran PKn


MAKALAH

Fakta dan Konsep Pembelajaran PKn

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pembelajaran PKn di SD
Dosen Pengampu : Jennyta Caturiasari, M.Pd.


Disusun oleh :
1.      Arifa Fajriani K (1806663)
2.      Ayu Widiyanti (1800295)
3.      Frisky Afrina (1806501)
4.      Ileena Ramadhanti (1800214)
5.      Ramaika Lenia Mareta
                                                                      Kelompok 3 
                                                                        3A PGSD


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS PURWAKARTA
2019



KATA PENGANTAR


            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan lancar. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
            Terlepas dari semua itu kami menyadari masih ada kekurangan didalam makalah ini. Oleh karena itu kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca, agar kami dapat memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik.
            Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Fakta dan Konsep Pembelajaran PKn dapat bermanfaat untuk semua pembaca.



 Penyusun 

Kelompok 3



DAFTAR ISI











BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Fakta adalah keadaan, peristiwa, dan kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi dan terjamin kebenarannya. Berarti fakta merupakan suatu bukti terjadinya sesuatu. Bila sesuatu tersebut menyangkut kehidupan masyarakat banyak dan bersifat sosial, maka fakta tersebut disebut sebagai fakta sosial. Fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut. Fakta dapat menyebabkan lahirnya teori baru. Fakta juga dapat menjadi alasan untuk menolak teori  yang  ada dan bahkan fakta dapat mendorong untuk mempertajam rumusan teori yang sudah ada.
Konsep adalah suatu pernyataan yang masih bersifat abstrak atau pemikiran mengelompokkan ide-ide atau peristiwa yang masih dalam angan-angan seseorang. Menurut Euner (1996) konsep adalah suatu kata yang bernuansa abstrak dan dapat digunakan untuk mengelompokkan ide, benda, atau peristiwa. Konsep PKn di Indonesia sangat penting karena merupakan landasan dan sumber utama materi PKn baik sekolah dasar maupun tingkat lanjutan. Mengenali norma-norma hukum, aparat penegakan hukum, serta penegakan hukum di masyarakat yang harus dipahami dan diterapkan setiap individu dalam proses sosialisasinya. Oleh karena itu, konsep penegakan hukum di Indonesia merupakan salah satu komponen dari Pendidikan Kewarganegaraan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian pembelajaran PKn di SD?
2.      Bagaimana proses pembelajaran PKn di SD?
3.      Apa fakta pembelajaran PKn di SD?

C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian pembelajaran PKn di SD.
2.      Untuk mengetahui proses pembelajaran PKn di SD.
3.      Untuk mengetahui fakta pembelajaran PKn di SD.






BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewaraganegaraan atau PKn merupakan bidang studi yang bersifat multifaset dengan konteks lintas bidang keilmuan. Namun secara filsafat keilmuan adalah ontology pokok ilmu politik khususnya konsep “political democracy” untuk aspek “duties and rights of citizen” (Chreshore:1886). Dari ontologi pokok berkembang konsep “Civics” yang secara harfiah dari bahasa Latin “civicus” yang artinya warga negara pada jaman Yunani kuno, yang kemudian diakui secara akademis sebagai embrionya “civic education”. Di Indonesia diadaptasi menjadi “pendidikan kewarganegaraan” (PKn). Secara epistemologis, PKn sebagai suatu bidang keilmuan merupakan pengembangan dari salah satu dari lima tradisi “social studies” yakni “citizenship transmission” (Barr, Barrt, dan Shermis: 1978). Tradisi tersebut sudah berkembang pesat menjadi “body of knowledge” yang dikenal dan memiliki paradigma sistematik yang didalamnya terdapat tiga domain “citizenship education” yakni: domain akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural” (Winataputra:2001). Ketiga domain itu satu sama lain memiliki saling kerterkaitan structural dan fungsional yang diikat oleh konsepsi “civic virtue and culture” yang mencakup “civic knowledge, civic disposition, civic skills, civic confidence, civic comimitment, dan civic competence” (CCE:1998). Oleh karena itu, ontology PKn sudah lebih luas dari pada embrionya sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas social-kultural PKn saat ini benar-benar bersifat multifaset/multidimensional yang membuat bidang studi PKN dapat disikapi sebagai: pendidikan kewarganegaraan, pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak asasi manusia, dan pendidikan demokrasi. Berdasarkan landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan operasional Undang-undang Sisdiknas yang berlaku saat ini, yakni UU Nomor 20 tahun 2003. Pasal yang mengatur tentang Pendidikan Kewarganegaraan untuk tingkat satuan pendidikan.
Mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran dalam kurikulum di SD/MI yang mempunyai misi sebagai pendidikan nilai pacasila dan pendidikan kewarganegaraan. Oleh karena itu, Karakteristik Kurikulum PKn yang perlu dikembangkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pedidikan (KTSP) hendaknya untuk mecapai target hingga terjadinyanya artikulasi proses proses “belajar tentang, melalu proses, dan untuk menumbuhkan demokrasi konstitusional Indonesia sesuai dengan UUD 1945”, yang secara konseptual diadaptasi dari konsep “learning about through,and for democracy” (CIVITAS:2001). Secara umum pelajaran PKn di SD adalah pengembangan kualitas Warga Negara secara utuh, dalam aspek-aspek berikut :
1.      Kemelek-wacanaan kewarganegaraan (civic literasi), yakni pemahaman peserta didik sebagai warga Negara tentang hak dan kewajiban warga Negara dalam kehidupan demokrasi Konstitusional Indonesia serta menyesuaikan perilakunya dengan pemahaman dan kesadaran itu.
2.      Komunikasi social kurtural kewarganegaraan (civic engagemen), yakni kemauan dan kemampuan peserta didik sebagai warga negara untuk melibatkan diri dalam komunikasi social kultural sesuai hak dengan kewajiban.
3.      Pemecahan masalah kewarganegaraan (civic skill and participation), yakni kemauan, kemampuan, dan keterampilan peserta didik sebagai warga Negara dalam mengambil prakarsa dan turut serta dalam pemecahan masalah social-kultural kewarganegaraan dalam lingkungannya.
4.      Penalaran kewarganegaraan (civic knowledge), yakni kemampuan peserta didik sebagai warga negara untuk berpikir secara kritis dan bertanggung jawab tentang ide, instrumentasi, dan praksis demokrasi konstitusional Indonesia.
5.      Partisipasi kewarganegaraan secara bertanggung jawab (civic participation and civic respon sibillity), yakni kesadaran dan kesiapan peserta didik sebagai warga negara untuk berpartisipasi aktif penuh bertanggung jawab dalam berkehidupan demokrasi konstitusional.
PKn untuk persekolahan sangat erat kaitannya dengan dua disiplin ilmu yang erat dengan kenegaraan, yakni ilmu Politik dan hukum yang terintegrasi dengan humoniur dan dimensi keilmuan lainnya yang dikemas secara ilmiah dan pedagogis untuk kepentingan pembelajaran disekolah. PKn di SD bertujuan untuk mempersiapkan para peserta didik sebagai warga Negara yang cerdas dan baik (to be smart dan good citizen). Warga Negara yang di maksud adalah warga Negara yang menguasai pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang dapat di manfaatkan untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Di SD, PKn lebih dititik beratkan pada penghayatan dan pembiasaan diri untuk berperan sebagai warga Negara yang demokratis dalam konteks Indonesia. Untuk itu guru Pkn harus menjadi warga Negara yang demokratis sehingga menjadi teladan bagi peserta didiknya. Maka untuk pembelajaran di SD mata pelajaran PKn tersebut seyogyanya diorganisasikan sebagai berikut :
1.      Pada jenjang SD kelas rendah kelas 1 s/d 3, pengorganisasian materi pendidikan kewarganegaraan menerapkan pendekatan terpadu (integrated) dengan fokus model pembelajaran yang berorientasi pada pengalaman dengan memanfaatkan pengorganisasian lingkungan yang meluas. Tujuan akhir untuk menumbuh kembangkan kesadaran dan pengertian awal tentang pentingnya kehidupan bermasyarakat secara tertib dan damai.
2.      Pada jenjang SD kelas tinggi kelas 4 s/d 6, pengorganisasian materi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan hampir sama dengan jenjang kelas 1 sampai 3. Perbedaannya, pada jenjang SD kelas tinggi, pembelajaran sudah mulai dikenalkan mata pelajaran yang terpisah.
3.      Para peserta didik dikondisikan, difasilitasi, dan ditantang untuk selalu bersikap dan berperilaku sebagai anggota keluarga, warga sekolah, dan masyarakat di lingkungannya yang cerdas dan baik. Proses pembelajaran diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil bermain, belajar sambil berbuat, dan belajar melalui pembiasaan serta interaksi social kultural di lingkungannya termasuk di lingkungan bermain.
Tujuan akhir dari Pendidikan Kewarganegaraan di kelas SD ini adalah tumbuh kembangnya kepekaan, ketanggapan, kritisasi dan kreativitas social dalam konteks kehidupan bermasyarakat secara tertib, damai, dan kreatif.

B.     Dimensi PKn

Pendidikan Kewarganegaraan yang ada di Indonesia memiliki multidimensional, berarti program PKn bukan hanya satu tujuan. Winataputra (2001) mengemukakan ada tiga dimensi PKn, yaitu : (1) PKn sebagai program kurikuler; (2) PKn sebagai program akademik; dan (3) PKn sebagai program sosial kultural. Ketiga dimensi ini terjadi secara bersamaan, khususnya untuk mencapai tujuan umum, yakni membentuk warga negara yang cerdas dan baik. Khusus untuk NKRI, tujuan PKn terdapat dalam UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bagian penjelasan Pasal 37 ayat (1) bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan dimaksud untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.”
1.      Domain PKn sebagai Program Kurikuler, yaitu program PKn yang dirancang dan dibelajarkan kepada peserta didik pada jenjang pendidikan tertentu. Proses penilaian ini untuk mengetahui tingkat penguasaan peserta didik terhadap program pembelajaran dan program pembangunan karakter. Menurut para pakar domain kulikuler belum karena adanya kelemahan masalah landasan, pengorganisasian kurikulum, buku pelajaran, metodologi, dan kompetensi guru.
2.      Domain PKn sebagai Program Akademik, yaitu program kajian ilmiah yang dilakukan oleh komunitas akademik PKn menggunakan pendekatan dan metode penelitian ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah konseptual dan oprasional guna menghasilkan generalisasi dan teori untuk membangun batang tubuh PKn. Hal ini memperjelas PKn bukan hanya sebagai mata pelajaran dalam kurikulum tetapi pendidikan disiplin ilmu yang memiliki tugas komprehensif dalam arti semua community of scholars mengemban amanat bukan hanya di bidang telaah instrumental, praksis-operasional, dan aplikatif melainkan dalam bidang kajian teoritis-konseptual yang terkait pengembangan struktur ilmu pengetahuan dan body of knowledge.
3.      Domain PKn sebagai Program Sosial Kultural, berbedaan dengan program kurikuler dilihat dari aspek tujuan, pengorganisasian kurikulum dan materi pembelajaran. Perbedaan terutama pada aspek sasaran, kondisi, dan karakteristik peserta didik. Program PKn ini dikembangkan dalam konteks kehidupan masyarakat dengan sasaran semua anggota masyarakat. Tujuannya lebih pada upaya pembinaan warga masyarakat agar menjadi warga negara yang baik dalam berbagai situasi dan perkembangan zaman yang senantiasa berubah.
Bangsa Indonesia pernah menyelenggarakan program sosial kultural pada masa pemerintahan Orde Baru melalui berbagai program penataran P4. Program ini sekarang sudah tidak ada lagi karena dipandang telah menyimpang dari tujuan sehingga tidak efektif lagi. Namun, dipandang dari sudut kepentingan berbangsa dan bernegara, terutama dalam pembangunan karakter bangsa, PKn melalui program sosial kultural ini sangat penting. Oleh karena itu, program PKn dalam dimensi sosial kultural pada pasca dibubarkannya BP7 dan penghentian program penataran P4 perlu direvitalisasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan pembangunan karakter warga negara Indonesia yang baik.

C.     Fakta Pembelajaran PKn

Pendidikan kewarganegaraan adalah mata pelajaran wajib mulai dari SD kelas 1 diperkenalkan pelajaran dasar tentunya mudah dipahami seperti pelajaran tenggang rasa, percaya diri, toleransi dan sebagainya. Semakin meningkat tingkat pendidikan maka maka pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan semakin rumit. Semakin tinggi jenjang pendidikan mata pelajaran PKn makin tidak di senangi oleh siswa.
Selain materi yang begitu banyak dan rumit, ada faktor lain yaitu guru pengajarnya. Kebanyakan anak tidak menyukai mata pelajaran PKn karena materinya yang banyak dan juga guru yang menjelaskannya kurang menarik. Bahkan masih banyak sekolah yang guru PKn nya bukan lulusan dari PKn namun lulusan dari jurusan lain seperti sejarah. Beberapa guru saat menjelaskan materi PKn memang tidak menarik karena kita seperti lagi dibacakan dongeng dan itu membuat kebanyakan siswa mengantuk saat pelajaran.
Jadi seharusnya kita sebagai guru harus mempunyai metode untuk menarik anak agar mau belajar dan tidak membosankan.








BAB III

KESIMPULAN


Pendidikan Kewaraganegaraan atau PKN merupakan bidang studi yang bersifat multifaset dengan konteks lintas bidang keilmuan. PKn mempunyai misi sebagai pendidikan nilai pacasila dan pendidikan kewarganegaraan untuk mencapai tujuan umum, yakni membentuk warga negara yang cerdas dan baik. Khusus untuk NKRI, tujuan PKn terdapat dalam UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bagian penjelasan Pasal 37 ayat (1). Pendidikan kewarganegaraan adalah mata pelajaran wajib mulai dari SD kelas 1 diperkenalkan pelajaran dasar tentunya mudah dipahami seperti pelajaran tenggang rasa, percaya diri, toleransi dan sebagainya.
Fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut. Konsep PKn di Indonesia sangat penting karena merupakan landasan dan sumber utama materi PKn baik sekolah dasar maupun tingkat lanjutan sehingga dijadikan mata pelajaran wajib. Hal ini dilalukan dengan cara memperkenalkan norma-norma hukum, aparat penegakan hukum, serta penegakan hukum di masyarakat yang harus dipahami dan diterapkan setiap individu dalam proses sosialisasinya. Terciptalah masyarakat yang baik bagi bangsa Indonesia jika diajarkan sejak SD.




DAFTAR PUSTAKA


Hasanah Afiatun Dewi. 2016. Fakta, Konsep, dan Generalisasi Teori. (http://dewiharususkses.blogspot.com/2016/06/fakta-konsep-dan-generalisasi-teori_3.html
)

Minggu, 22 September 2019

Makalah Karakteristik PKn Sebagai Pendidikan dan Moral


MAKALAH KARAKTERISTIK PKn SEBAGAI
PENDIDIKAN NILAI DAN MORAL
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah Pembelajaran PKn Di SD
yang diampu oleh :
Drs. H. Kanda Ruskandi, M.Pd.
Jennyta Caturiasari, M.Pd.



Disusun oleh  :
Safirotul Mahrushoh (1800134)
Salwa Amaliah A.U (1800943)
Virda Tanianur Ivani (1800238)
Wulan Siti Nuraeni (1800494)
Yolanda Salwa Putri P (1806621)

Kelompok 1
3A PGSD


JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS PURWAKARTA
2019



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Pembelajaran PKn Di SD.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen kami Pembelajaran PKn Di SD Drs. Kanda Ruskandi, M.Pd. dan Jennyta Caturiasari, M,Pd. yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Purwakarta, 20 September 2019

Penyusun
        kelompok  1





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan nilai dan moral memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan budi pekerti dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari Pendidikan Nilai dan Moral dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah budi pekerti, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan Pendidikan Nilai dan Moral pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian masal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, seperti Jakarta, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian siswa. Berkaitan dengan pembahasan di atas, bahwa pendidikan nilai dan moral adalah sebuah wadah pembinaan akhlak. Maka hal ini perlu adanya sebuah pendekatan yang akan membawa siswa atau peserta didik untuk memaknai dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Disampaikan itu kepada calon pendidik, khususnya seorang guru yang kemudian dijadikan sebagai pengetahuan untuk menerapkan nilai dan moral dalam pembelajaran PKn di Sekolah Dasar maupun di tingkat selanjutnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pendekatan PKn sebagai pendidikan nilai dan moral di MI/SD?
2.      Bagaimana pendidikan nilai dan moral dalam standart isi PKn di MI/SD?
3.      Bagaimana hubungan interaktif pengembangan nilai dan moral dalam PKn MI/SD?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pendekatan PKn sebagai pendidikan nilai dan moral di MI/SD.
2.      Untuk megetahui pendidikan nilai dan moral dalam standart isi PKn di MI/SD.
3.      Untukmengetahui hubungan interaktif pengembangan nilai dan moral dalam PKn MI/SD.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendekatan PKn Sebagai Pendidikan  Nilai dan Moral Di SD
Dalam undang-undang 1945 alinea ke empat,  dinyatakan dengan tegas bahwa Pemerintah Negara Indonesia di bentuk antara lain untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Untuk mendapatkan kehidupan bangsa yang cerdas dalam artian yang luas tentu diperlukan warga negara yang cerdas juga dalam artian luas. Secara psikologis dan sosial yang dimaksudkan cerdas bukanlah hanya cerdas rasional tetapi juga cerdas emosional, cerdas sosial, dan juga cerdas spiritual. (Sanusi: 1998,Winataputra; 2001). Dalam undang-undang RI No.  20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (UU nomor 20/2003,Sisdiknas) yang dengan tugas juga menyatakan bahwa “pendidian diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat”.
Mengenai pendidikan nilai dalam penjelasan pasal 37 undang- undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional secara khusus tidak menyebutkan, namun secara implisit,  antara lain tercakup dalam muatan pendidikan kewarganegaraan, yang secara substansif dan pedagogis mempunyai misi mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan rasa Cinta tanah air. Hal itu di topang menurut landasan kurikulum, yang ada dalam pasal 36 ayat (3) secara eksplisit perlu memperhatikan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan,  perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni, keragaman potensi daerah dan lingkungan dan peningkatan potensi,  kecerdasan dan minat peserta didik.
Untuk dapat memahami konsep pendidikan nilai secara teori, Hermann (1972) mengemukakan suatu prinsip yang sangat mendasar,  yakni bahwa “…value is neither taught nor cought, it is learned”, yang artinya bahwa substansi nilai tidaklah semata-mata ditangkap dan diajarkan tetapi lebih jauh, nilai dicerna dalam arti ditangkap, di internalisasi, dan dibakukan sebagai bagian yang melekat dalam kualitas pribadi seseorang melalui proses belajar. Kenyataan bahwa proses belajar bukanlah terjadi dalam ruang bebas budaya, tetapi dalam masyarakat yang syarat-budaya karena kita hidup dalam kehidupan masyarakat yang berkebudayaan. Karena pendidikan sesungguhnya adalah proses pembudayaan untuk menghasilkan manusia yang berkeadaban, termasuk di dalamnya yang berbudaya. Masyarakat merupakan unsur kebudayaan yang melukiskan penghayatan nilai yang berkembang dalam lingkungan masyarakat sendiri. Berkaitan dengan nilai masyarakat, proses “indiginasi”,yakni pemanfaatan kebudayaan daerah untuk pembelajaran mata pelajaran lain dengan tujuan untuk mendekatkan pelajaran itu dengan lingkungan sekitar siswa sangat penting. Contohnya legenda dari seluruh penjuru tanah air digunakan sebagai stimulus dalam pembahasan suatu konsep nilaiw atau moral.
Secara konseptual pendidikan nilai merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan ,karna pada dasarnya tujuan dari pendidikan sebagaimana tersurat dalam UU RI No.20 Tahun 2003 (pasal3) adalah “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlakul mulia, Ber-ilmu,kreatif,mandiri  dan menjadi wargaa negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.
Pendidikan nilai memiliki dimensi pedagogis praktis yang jauh lebih kompleks dari pada dimensi teoritisnya karena terkait pada konteks sosial kultural.menurut lickona (1992:53-63) yang perlu dikembangkan dalam rangka pendidikan nilai adalah nilai karakter yang baik (good teacher) yang di dalamnya mengandung dimensi nilai moral sebagi berikut :
A.    Dimenai wawasan moral
1.      Wawasan moral yang mencakup:
Kesadaran moral
2.      Wawasan nilai moral mencakup :
Kemampuan mengambil pandangan orang lain
Penalaran moral
Mengambil keputusan
Pemahaman diri sendiri
B.     Dimensi perasaan moral
1.      Perasaan moral yang mencakup :
Kata hati nurani.
Harapan diri sendiri
Merasakan diri orang lain
Cinta kebaikan
Kontrol diri
Merasakan diri sendiri
C.     Dimensi perilaku moral
1.      Dimensi perilaku moral yang mencakup :
Kompetensi
Kemauan
Kebiasaan
Ketiga dimensi tersebut memiliki keterkaitan substantif dan fungsional. Dalam dunia pendidikan di Indonesia pendidikan moral secara formal terdapat dalam mata pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (kurikulum1994) atau pendidikan kewarganegaraan (UU RI nomor 20 tahun 2003) dan pendidikan agama dan bahasa. Dalam kurikulum 1975 istilah pendidikan kewarganegaraan diubah menjadi pendidikan moral pancasila (PMP) yang berisikan materi pancasila yang diuraikan dalam pedoman penghayatan dan pengalaman pancasila (P4). Dengan berlakunya UU RI No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama,pendidikan kewarganegaraan dan bahasa (ps.37 ayat 2). UU RI tentang Sisdiknas, tidak lagi mengenal adanya pendidikan pancasila secara tersendiri yang ada hanyalah pendidikan kewarganegaraan yang harus diartikan pendidikan kewarganegaraan yang berisikan nilai dan moral yang terkandung dalam pancasila. Dan didalam penjelasan ayat tersebut ditegaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Dalam teks Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ditanda tangani oleh Soekarno dan Hatta Atas Nama Bangsa Indonesia yang secara substansif merupakan “The Highest Political Decision” Bangsa Indonesia. Pada kalimat pertama dengan tegas dinyatakan “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”. Dengan proklamasi tersebut berarti kita pada saat itu memasuki kehidupan Bermasyarakat-bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Dan juga dinyatakan tujuan dan dasar Negara Indonesia, Sebagaimana tertuang dalam alinea ke-4. Dalam alinea tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk : “…. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial,…” (Republik Indonesia, 1945 dalam BP7 Pusat:1994).
      Secara Historis kita dapat melihat usulan yang diajukan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat atau BP KNIP tanggal 29 Desember 1945 (Djojonegoro,1996:73) ditekankan bahwa :”Untuk menyusun masyarakat baru perlu adanya perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Paham perseorangan yang pada saat iyu berlaku haruslah diganti dengan paham kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi. Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warganegara yang mempunyai rasa tanggung jawab.  Kemudian oleh Kementrian PPK dirumuskan tujuan pendidikan : “Untuk mendidik warga Negara yang sejati yang bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk Negara dan masyarakat”.  Hakikat tujuan pendidikan tersebut, di dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1950, Bab II, Pasal 3 (Djojonegoro,1996:76) Dirumuskan menjadi “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. Di situ pun, Hakikat pengembangan warga Negara yang Cerdas, Demokratis, dan Religius secara Konsisten dipertahankan.
      Pada tahun 1954 dikeluarkan Undang-Undang No.12 Tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah, yang pada dasarnya merupakan pemberlakuan kembali UU No.4 Tahun 1950 di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kurun waktu berlakunya Undang-Undang tersebut terbit Keputusan Presiden RI No.145 Tahun 1965, yang isinya antara lain menetapkan tujuan pendidikan nasional untuk : “…Melahirkan warga Negara sosialis, yang bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat yang sosialis Indonesia, Adil dan makmur  baik spiritual maupun material yang berjiwa pancasila…” (Djojonegoro 1996:103). Tujuan tersebut Tampaknya  bersifat Ambivalen karena menekankan pada pengembangan warga Negara sosialis, dan yang berjiwa pancasila, dan memberi indikasi masuknya paham komunisme, yang memang pada saat itu msuk melalui PGRI Non-Vak sentral yang beraliran kiri. Pada era inilah di SMP dan SMA muncul mata pelajaran “CIVICS”  yang isinya didominasi oleh materi indoktrinasi Manipol USDEK. Walaupun namanya pelajaran Civics, yang mestinya secara programatik mengembangkan Civics Virtue dan Civics Culture, dan berorientasi pada pengembangan warga Negara yang cerdas, demokratis, dan religious, dalam kenyataanya digunakan untuk kepentingan Indoktrinasi penguasa pada saat itu.
      Dalam kondisi belum berkembangnya paradigma Civics Education untuk Indonesia, pada tahun 1975/1976 muncul mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang visi dan misinya berorientasi pada Value Inculcation dengan muatan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Kondisi ini bertahan sampai disempurnakannya Kurikulum PMP Tahun 1975/1976 menjadi kurikulum PMP Tahun 1984, dengan visi dan misi yang sama namun dengan muatan baru Pedoman Pemahaman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P-4) atau Eka Prasetya Pancakarsa, dengan 36 Butir nilai Pancasila dengan muatannya. Dengan berubahnya Pendidikan Kewarganegaraan Negara (PKN) menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) baik menurut kurikulum tahun 1975/1976 maupun kurikulum tahun 1984, Pengembangan Civics Virtue dan Civics Culture dalam praksis demokrasi, yang seyogyanya menjadi jati diri PKN, berubah menjadi Pendidikan Prilaku Moral, yang dalam kenyataannya lepas dari konteks pendidikan cita-cita,nilai dan konsep demokrasi. Hal ini juga terjadi seperti pada perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975, antara lain karena belum berkembangnya paradigma Civics Education yang melandasi dan memandu pengembangan kurikulumnya.
Keadaan itu ternyata terus berlanjut sampai berubahnya Kurikulum PMP 1984 Menjadi Kurikulum “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tahun 1994, yang walaupun namanya mencangkup kajian pendidikan pancasila dan pendidikan kewarganegaraan sesuai dengan undang-undang No.2  Tahun 1989, tetapi karakteristik kurikulernya sangat kental dengan pendidikan moral pancasila, yang didominasi oleh proses Value Inculcation dan Knowledge Dissemination. Di SD PPKn bertujuan untuk menanamkan sikap dan prilaku dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan kepada nilai-nilai pancasla baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, dan memberikan bekal kemampuan untuk mengikuti si SLTP” (Depdikbud,1993:1). Sementara itu di SLTP, PPKn bertujuan untuk ”Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahami dan menghayati nilai-nilai pancasila dalam rangka pembentukan sikap dan prilaku sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga Negara yang bertanggung jawab serta memberi bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di jenjang  Pendidikan Menengah”. (Depdikbud, 1994:2).  Sedangkan di SMU, PPKn bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pengembangan kemampuan memahami, menghayati, dan meyakini nilai-nilai pancasila sebagai pedoman berprilaku dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehinggan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan, serta memberi bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut (Depdikbud, 1994b:2).
PPKn 1994, secara paradigma sesungguhnya masih sama dengan PMP sebelumnya. Namun prilaku demokratis yang cerdas dan religious, yang menjadi karakteristik Civics Education dalam masyarakat madani, belum sepenuhnya berkembang dalam masyarakat Indonesia. Hal itu tampak dalam berbagai gejala Lawlessness atau ketidak patuhan hokum yang melanda semua lapisan masyarakat bangsa Indonesia saat ini. Demokrasi ternyata kini lebih banyak diucapkan sebagai retorika politik, dari pada diwujudkabn dalam prilaku bermasyarakat-bangsa dan bernegara Indonesia.
Secara konstitusional demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang Theistis atau Demokrasi yang berketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pendidikan nilai bagi Indonesia seyogyanya berpijak pada nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai demokrasi yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, dan Nilai Sosial-Kultural yang Ber bhineka Tunggal Ika. Dalam konteks itu maka teori perkembangan moral dari Piaget dan Kohlberg yang dapat diadaptasikan adalah terhadap nilai moral sosial-kultural selain nilai yang berkenaan dengan keyakinan atau aqidah keagamaan yang tidak selamanya dapat atau boleh dirasionalkan.
Konsepsi pendidikan nilai moral Piaget yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah moral dalam kehidupan dapat diadaptasikan dalam pendidikan nilai di Indonesia dalam konteks Demokrasi Konstitusional Indonesia dan Konteks Sosial-Kultural Masyarakat Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika termasuk alam keyakinan agama.
Konsepsi pendidikan nilai moral Kohlberg yang menitikberatkan pada penalaran moral melalui pendekatan klarifikasi nilai yang memberi kebebasan kepada individu peserta didik untuk memilih posisi moral, dapat digunakan dalam konteks Pembahasan nilai selain nilai aqidah sesuai dengan keyakinan agama masing-masing. Secara konseptual dapat digunakan sebagai salah satu landasan bagi pengembangan paradigma penelitian perkembangan moral bagi orang Indonesia.
Kerangka Konseptual komponen Good Character dari Lickona yang membagi karakter menjadi wawasan moral, perasaan moral, dan prilaku moral dapat dipakai untuk mengklarifikasi nilai moral dalam pendidikan  nilai di Indonesia.
Semua teori tersebut dapat digunakan sebagai sumber akademis dalam membangun Desain penelitian pendidikan nilai di Indonesia dengan cara mengambil secara adaptif sesuai dengan konteks sosial-kultural dan sosial-religius masyarakat Indonesia.
B.   KEGIATAN BELAJAR 2
Pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar Isi PKn di SD
            Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 “Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.” Adapun PKn bertujuan agar para peserta didik dapat memiliki kemampuan sebagai berikut :
1.      Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan
2.      Partisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara  cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi
3.      Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
4.      Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
Dalam ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan dasar dan menengah, menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006 secara umum meliputi substansi kurikuler yang di  dalamnya mengandung nilai dan moral, yakni :
1.      Persatuan dan Kesatuan Bangsa
meliputi :  hidup rukun dalam perbedaan, sumpah pemuda, partisipasi dalam pembelaan negara
2.      Norma, Hukum, dan Peraturan
meliputi : tertib dalam kehidupan keluarga, norma yang berlaku di masyarakat, sistem hukum dan peradilan nasional
3.      Hak Asasi Manusia
meliputi : hak dan kewajiban anak, instrument nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM
4.      Kebutuhan Warga Negara
meliputi : kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, persamaan kedudukan warga negara
5.      Konstitusi Negara
Meliputi : proklamasi kemerdekaan, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan
6.      Kekuasaan dan Politik
Meliputi : pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintah derah dan otonomi, pemerintah pusat
7.      Pancasila
Meliputi : kedudukan pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, pengalaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari
8.      Globalisasi
Meliputi : politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional dan mengevaluasi globalisasi 



Image. struktur kurikulum SD 1
Khusus untuk SD / MI lingkup isi Pendidikan Kewarganegaraan dikemas dalam Standar Kompetensi  dan Kompetensi Dasar, yang secara sekuensial diorganisasikan sebagai berikut.
Kelas I, Semester I




Kelas II, Semester I






Kelas II, Semester II


Kelas III, Semester I











C. KEGIATAN BELAJAR 3
Hubungan Interaktif Pengembangan Nilai dan Moral dalam PKn di SD
Konsep-konsep “value education, moral education, education for virtues” yang secara teoritik, oleh Lickona (1992) diperkenalkan sebagai program dan proses pendidikan yang tujuannya selain pengembangan pikiran, atau menurut Bloom untuk mengembangkan nilai dan sikap. Pendidikan nilai, etika, moral sangat penting sebagai salah satu wahana sosiopedagogis dalam menjamin kelangsungan hidup masyarakat, bangsa, dan negara (berlandaskan pendapat dari Roosevelt dan Honing). Tujuan dari pendidikan nilai moral yaitu agar peserta didik menjadi melek etika, dan mampu berperilaku baik di dalam masyarakat.
Lickona (1992:6-7) berpandangan bahwa pendidikan moral merupakan aspek yang esensial bagi perkembangan dan berhasilnya kehidupan demokrasi. Pendidikan nilai dalam dunia barat adalah pendidikan nilai yang bertolak dari dan bermuara pada nilai-nilai sosial-kultural demokrasi.
Jean Piaget mengidentifikasikan bahwa ada dua tingkat perkembangan moral pada anak usia antara 6-12 tahun yakni heteronomi dan autonomi. Pada tingkatan heteronomi segala aturan oleh anak dipandang sebagai hal yang datang dari luar jadi bersifat eksternal dan dianggap sakral karena aturan itu merupakan hasil pemikiran orang dewasa. Sedangkan tingkatan autonomi anak mulai menyadari adanya kebebasan untuk tidak sepenuhnya menerima aturan itu sebagai hal yang datang dari luar dirinya.
Piaget merumuskan perkembangan kesadaran dan pelaksanaan aturan. Piaget membagi beberapa tahapan dalam dua domain Tahapan pada domain kesadaran mengenai aturan dan pelaksanaan aturan.
Tahapan pada domain kesadaran mengenai aturan :
1.      Usia 0-2 tahun : Pada usia ini aturan dirasakan sebagai hal yang tidak bersifat memaksa
2.      Usia 2-8 tahun : Pada usia ini aturan disikapi sebagai hal yang bersifat sakral dan diterima tanpa pikiran
3.      Usia 8-12 tahun : Pada usia ini aturan diterima sebagai hasil kesepakatan
Tahapan pada domain pelaksanaan aturan :
1.      Usia 0-2 tahun : Pada usia ini aturan dilakukan sebagai hal yang hanya bersifat motorik saja
2.      Usia 2-6 tahun : Pada usia ini aturan dilakukan sebagai perilaku yang lebih ber orientasi diri sendiri
3.      Usia 6-10 tahun : Pada usia ini aturan diterima sebagai perwujudan dan kesepakatan
4.      Usia 10-12 tahun : Pada usia ini aturan diterima sebagai ketentuan yang sudah dihimpun
Kohlberg merumuskan adanya tiga tingkat (level) yang terdiri atas enam tahap (stage) perkembangan moral seperti berikut.
1.      Tingkat I : Prakonvensional (Preconventional)
a.       Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan. Ciri moralita pada tahap ini adalah apapun yang pada akhirnya mendapat pujian atau hadiahi adalah baik, dan apapun yang pada akhirnya dikenai hukuman adalah buruk.
b.      Tahap 2 : Orientasi instrumental nisbi. Ciri moralita pada tahap ini adalah seseorang berbuat baik apabila orang lain berbuat baik padanya, dan yang baik itu adalah sesuatu bila satu sama lain berbuat hal yang sama.
2.      Tingkat II : Kovensional (Conventional)
a.       Tahap 3 : Orientasi kesepakatan timbal balik. Ciri utama moralita pada tahap ini adalah bahwa sesuatu hal dipandang baik dengan pertimbangan untuk memenuhi anggapan orang lain baik atau baik karena memang disepakati.
b.      Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban. Ciri utama moralita pada tahap ini adalah bawa sesuatu hal yang baik itu adalah yang diatur kewajiban sesuai dengan norma hukum tersebut.
3.      Tingkat III : Poskonvensional (Postconventional)
a.       Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial legalistik. Ciri utama moralita adalah bahwa sesuatu dinilai baik bila sesuai dengan kesepakatan umum dan diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran konsensual.
b.      Tahap 6 : Orientasi prinsip etika universal. Ciri utama moralita pada tahap ini adalah bahwa sesuatu dianggap baik bila telah menjadi prinsip etika yang bersifat universal dari mana norma dan aturan dijabarkan.
Tugas guru adalah membelajarkan kebajikan itu melalui percontohan dan komunikasi langsung keyakinan serta memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kebajikan itu dengan memberinya penguatan.
Pendekatan pendidikan nilai yang ditawarkan oleh Kohlberg sama dengan yang ditawarkan Piaget dalam hal fokusnya terhadap perilaku moral yang dilandasi oleh penalaran moral, namun berbeda dalam hal titik berat pembelajarannya di mana Piaget menitikberatkan pada pengembangan kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah, sedangkan Kohlberg menitikberatkan pada pemilihan nilai yang dipegang terkait dengan alternatif pemecahan terhadap suatu dilema moral melalui proses klarifikasi bernalar.







BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :

1.      Konsepsi pendidikan nilai moral piaget yang menitik beratkan pada pembangunan kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah moral dalam kehidupan dapat diadaptasi dalam pendidikan nilai di Indonesia dalam konteks demokrasi konstitusional Indonesia dan konteks sosial-kultural masyarakat Indonesia yang berBhineka Tunggal Ika termasuk dalam keyakinan agama. Konsepsi pendidikan nilai moral kohlberg yang menitik beratkan pada penalaran moral melalui pendekatan klarifikasi nilai yang member kebebasan kepada individu peserta didik untuk memilih posisi moral, dapat digunakan dalam konteks pembahasan nilai selain nilai aqidah sesuai dengan keyakinan agam masing-masing. Konsepsi dapat digunakan sebagai salah satu landasan bagi pengembangan paradigm penelitian perkembangan moral bagi warga Indonesia.
2.      Dalam ruang lingkup mata pelajaran PKN untuk pendidikan dasar dan menengah, menurut Permendiknas NO.22Tahun 2006 secara umum meliputi subtansi kurikuler yang didalannya mengandung nilai dan moral sebagai berikut : Persatuan dan Kesatuan bangsa ,Norma , hukum dan peraturan ,Hak Asasi Manusia ,Kebutuhan warga negara ,Kostitusi Negara , Kekuasaan dan Politik, Pancasila ,Globalisasi
3.      Hubungan interaktif proses pengembangan nilai dan moral dengan proses pendidikan di sekolah harus dilihat dalam paradigma pendidikan nilai secara konseptual dan operasional. Konsep-konsep “values education, moral education, education of virtues” yang secara teoritik oleh Lickona (1992) diperkenalkan sebagai program dan proses pendidikan yang tujuannya selain mengembangkan pikiran atau menurut Bloom untuk mengembangkan niali dan sikap.









DAFTAR RUJUKAN

Udin S. Winataputra, 2018, Pembelajaran PKN di SD (Tangerang: Universitas Terbuka)




Makalah Pembelajaran PKn di SD

MAKALAH PEMBELAJARAN PKn di SD Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pembelajaran PKn di SD Dosen Pengampu : Jennyta ...