MAKALAH
KARAKTERISTIK PKn SEBAGAI
PENDIDIKAN NILAI DAN
MORAL
Diajukan untuk memenuhi
salah satu tugas Mata kuliah Pembelajaran PKn Di SD
yang diampu oleh :
Drs.
H. Kanda Ruskandi, M.Pd.
Jennyta
Caturiasari, M.Pd.
Safirotul
Mahrushoh (1800134)
Salwa
Amaliah A.U (1800943)
Virda
Tanianur Ivani (1800238)
Wulan
Siti Nuraeni (1800494)
Yolanda
Salwa Putri P (1806621)
Kelompok 1
3A PGSD
JURUSAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS
PURWAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi allah SWT yang telah
memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT
atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal
pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai
tugas dari mata kuliah Pembelajaran PKn Di SD.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak khususnya kepada dosen kami Pembelajaran PKn Di SD Drs. Kanda
Ruskandi, M.Pd. dan Jennyta Caturiasari, M,Pd. yang telah membimbing kami dalam
menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Terima kasih.
Purwakarta, 20 September 2019
Penyusun
kelompok 1
kelompok 1
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan nilai dan moral memiliki esensi dan makna yang
sama dengan pendidikan budi pekerti dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan
warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat
yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara
umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari Pendidikan Nilai dan
Moral dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah budi pekerti, yakni
pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia
sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan
kualitas pelaksanaan Pendidikan Nilai dan Moral pada lembaga pendidikan formal.
Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni
meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian masal dan
berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu,
seperti Jakarta, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat
meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi
pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam
pembentukan kepribadian siswa. Berkaitan dengan pembahasan di atas, bahwa
pendidikan nilai dan moral adalah sebuah wadah pembinaan akhlak. Maka hal ini
perlu adanya sebuah pendekatan yang akan membawa siswa atau peserta didik untuk
memaknai dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Disampaikan itu kepada calon pendidik, khususnya seorang
guru yang kemudian dijadikan sebagai pengetahuan untuk menerapkan nilai dan
moral dalam pembelajaran PKn di Sekolah Dasar maupun di tingkat selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendekatan PKn
sebagai pendidikan nilai dan moral di MI/SD?
2. Bagaimana pendidikan
nilai dan moral dalam standart isi PKn di MI/SD?
3. Bagaimana hubungan
interaktif pengembangan nilai dan moral dalam PKn MI/SD?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pendekatan PKn
sebagai pendidikan nilai dan moral di MI/SD.
2. Untuk megetahui pendidikan
nilai dan moral dalam standart isi PKn di MI/SD.
3. Untukmengetahui hubungan
interaktif pengembangan nilai dan moral dalam PKn MI/SD.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan
PKn Sebagai Pendidikan Nilai dan Moral
Di SD
Dalam
undang-undang 1945 alinea ke empat,
dinyatakan dengan tegas bahwa Pemerintah Negara Indonesia di bentuk
antara lain untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Untuk mendapatkan kehidupan
bangsa yang cerdas dalam artian yang luas tentu diperlukan warga negara yang
cerdas juga dalam artian luas. Secara psikologis dan sosial yang dimaksudkan
cerdas bukanlah hanya cerdas rasional tetapi juga cerdas emosional, cerdas
sosial, dan juga cerdas spiritual. (Sanusi: 1998,Winataputra; 2001). Dalam
undang-undang RI No. 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional (UU nomor 20/2003,Sisdiknas) yang dengan
tugas juga menyatakan bahwa “pendidian diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat”.
Mengenai
pendidikan nilai dalam penjelasan pasal 37 undang- undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional secara khusus tidak
menyebutkan, namun secara implisit,
antara lain tercakup dalam muatan pendidikan kewarganegaraan, yang
secara substansif dan pedagogis mempunyai misi mengembangkan peserta didik
menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan rasa Cinta tanah air. Hal itu
di topang menurut landasan kurikulum, yang ada dalam pasal 36 ayat (3) secara
eksplisit perlu memperhatikan persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan, perkembangan ilmu
pengetahuan teknologi dan seni, keragaman potensi daerah dan lingkungan dan
peningkatan potensi, kecerdasan dan
minat peserta didik.
Untuk
dapat memahami konsep pendidikan nilai secara teori, Hermann (1972)
mengemukakan suatu prinsip yang sangat mendasar, yakni bahwa “…value is neither taught nor
cought, it is learned”, yang artinya bahwa substansi nilai tidaklah semata-mata
ditangkap dan diajarkan tetapi lebih jauh, nilai dicerna dalam arti ditangkap,
di internalisasi, dan dibakukan sebagai bagian yang melekat dalam kualitas
pribadi seseorang melalui proses belajar. Kenyataan bahwa proses belajar
bukanlah terjadi dalam ruang bebas budaya, tetapi dalam masyarakat yang
syarat-budaya karena kita hidup dalam kehidupan masyarakat yang berkebudayaan.
Karena pendidikan sesungguhnya adalah proses pembudayaan untuk menghasilkan
manusia yang berkeadaban, termasuk di dalamnya yang berbudaya. Masyarakat
merupakan unsur kebudayaan yang melukiskan penghayatan nilai yang berkembang
dalam lingkungan masyarakat sendiri. Berkaitan dengan nilai masyarakat, proses
“indiginasi”,yakni pemanfaatan kebudayaan daerah untuk pembelajaran mata
pelajaran lain dengan tujuan untuk mendekatkan pelajaran itu dengan lingkungan
sekitar siswa sangat penting. Contohnya legenda dari seluruh penjuru tanah air
digunakan sebagai stimulus dalam pembahasan suatu konsep nilaiw atau moral.
Secara
konseptual pendidikan nilai merupakan bagian tak terpisahkan dari proses
pendidikan ,karna pada dasarnya tujuan dari pendidikan sebagaimana tersurat
dalam UU RI No.20 Tahun 2003 (pasal3) adalah “untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlakul mulia, Ber-ilmu,kreatif,mandiri dan menjadi wargaa negara yang demokratis dan
bertanggung jawab”.
Pendidikan
nilai memiliki dimensi pedagogis praktis yang jauh lebih kompleks dari pada
dimensi teoritisnya karena terkait pada konteks sosial kultural.menurut lickona
(1992:53-63) yang perlu dikembangkan dalam rangka pendidikan nilai adalah nilai
karakter yang baik (good teacher) yang
di dalamnya mengandung dimensi nilai moral sebagi berikut :
A. Dimenai
wawasan moral
1. Wawasan
moral yang mencakup:
Kesadaran
moral
2. Wawasan
nilai moral mencakup :
Kemampuan
mengambil pandangan orang lain
Penalaran
moral
Mengambil
keputusan
Pemahaman
diri sendiri
B. Dimensi
perasaan moral
1. Perasaan
moral yang mencakup :
Kata
hati nurani.
Harapan
diri sendiri
Merasakan
diri orang lain
Cinta
kebaikan
Kontrol
diri
Merasakan
diri sendiri
C. Dimensi
perilaku moral
1. Dimensi
perilaku moral yang mencakup :
Kompetensi
Kemauan
Kebiasaan
Ketiga
dimensi tersebut memiliki keterkaitan substantif dan fungsional. Dalam dunia
pendidikan di Indonesia pendidikan moral secara formal terdapat dalam mata
pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (kurikulum1994) atau
pendidikan kewarganegaraan (UU RI nomor 20 tahun 2003) dan pendidikan agama dan
bahasa. Dalam kurikulum 1975 istilah pendidikan kewarganegaraan diubah menjadi
pendidikan moral pancasila (PMP) yang berisikan materi pancasila yang diuraikan
dalam pedoman penghayatan dan pengalaman pancasila (P4). Dengan berlakunya UU
RI No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, kurikulum pendidikan
dasar dan menengah serta pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan
agama,pendidikan kewarganegaraan dan bahasa (ps.37 ayat 2). UU RI tentang
Sisdiknas, tidak lagi mengenal adanya pendidikan pancasila secara tersendiri
yang ada hanyalah pendidikan kewarganegaraan yang harus diartikan pendidikan
kewarganegaraan yang berisikan nilai dan moral yang terkandung dalam pancasila.
Dan didalam penjelasan ayat tersebut ditegaskan bahwa pendidikan
kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Dalam teks Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ditanda
tangani oleh Soekarno dan Hatta Atas Nama Bangsa Indonesia yang secara
substansif merupakan “The Highest
Political Decision” Bangsa Indonesia. Pada kalimat pertama dengan tegas
dinyatakan “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”.
Dengan proklamasi tersebut berarti kita pada saat itu memasuki kehidupan Bermasyarakat-bangsa Indonesia yang merdeka
dan berdaulat. Dan juga dinyatakan tujuan dan dasar Negara Indonesia,
Sebagaimana tertuang dalam alinea ke-4. Dalam alinea tersebut dengan tegas
dinyatakan bahwa pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk : “…. Melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial,…” (Republik Indonesia, 1945 dalam BP7
Pusat:1994).
Secara
Historis kita dapat melihat usulan yang diajukan oleh Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat atau BP KNIP tanggal 29 Desember 1945
(Djojonegoro,1996:73) ditekankan bahwa :”Untuk menyusun masyarakat baru perlu
adanya perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Paham perseorangan yang
pada saat iyu berlaku haruslah diganti dengan paham kesusilaan dan peri
kemanusiaan yang tinggi. Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid
menjadi warganegara yang mempunyai rasa tanggung jawab. Kemudian oleh Kementrian PPK dirumuskan
tujuan pendidikan : “Untuk mendidik warga Negara yang sejati yang bersedia
menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk Negara dan masyarakat”. Hakikat tujuan pendidikan tersebut, di dalam
Undang-Undang No.4 Tahun 1950, Bab II, Pasal 3 (Djojonegoro,1996:76) Dirumuskan
menjadi “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis,
serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. Di
situ pun, Hakikat pengembangan warga Negara yang Cerdas, Demokratis, dan
Religius secara Konsisten dipertahankan.
Pada
tahun 1954 dikeluarkan Undang-Undang No.12 Tahun 1954 tentang dasar-dasar
pendidikan dan pengajaran di sekolah, yang pada dasarnya merupakan pemberlakuan
kembali UU No.4 Tahun 1950 di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam kurun waktu berlakunya Undang-Undang tersebut terbit Keputusan
Presiden RI No.145 Tahun 1965, yang isinya antara lain menetapkan tujuan
pendidikan nasional untuk : “…Melahirkan warga Negara sosialis, yang
bertanggung jawab atas terselenggaranya masyarakat yang sosialis Indonesia,
Adil dan makmur baik spiritual maupun
material yang berjiwa pancasila…” (Djojonegoro 1996:103). Tujuan tersebut
Tampaknya bersifat Ambivalen karena
menekankan pada pengembangan warga Negara sosialis, dan yang berjiwa pancasila,
dan memberi indikasi masuknya paham komunisme, yang memang pada saat itu msuk
melalui PGRI Non-Vak sentral yang beraliran kiri. Pada era inilah di SMP dan
SMA muncul mata pelajaran “CIVICS” yang isinya didominasi oleh materi
indoktrinasi Manipol USDEK. Walaupun namanya pelajaran Civics, yang mestinya secara programatik mengembangkan Civics Virtue dan Civics Culture, dan berorientasi pada pengembangan warga Negara
yang cerdas, demokratis, dan religious, dalam kenyataanya digunakan untuk
kepentingan Indoktrinasi penguasa pada saat itu.
Dalam
kondisi belum berkembangnya paradigma Civics
Education untuk Indonesia, pada tahun 1975/1976 muncul mata pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang visi dan misinya berorientasi pada Value Inculcation dengan muatan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945. Kondisi ini bertahan sampai disempurnakannya Kurikulum
PMP Tahun 1975/1976 menjadi kurikulum PMP Tahun 1984, dengan visi dan misi yang
sama namun dengan muatan baru Pedoman Pemahaman, Penghayatan, dan Pengamalan
Pancasila (P-4) atau Eka Prasetya Pancakarsa, dengan 36 Butir nilai Pancasila
dengan muatannya. Dengan berubahnya Pendidikan Kewarganegaraan Negara (PKN)
menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) baik menurut kurikulum tahun 1975/1976
maupun kurikulum tahun 1984, Pengembangan Civics
Virtue dan Civics Culture dalam praksis demokrasi, yang seyogyanya menjadi
jati diri PKN, berubah menjadi Pendidikan Prilaku Moral, yang dalam
kenyataannya lepas dari konteks pendidikan cita-cita,nilai dan konsep
demokrasi. Hal ini juga terjadi seperti pada perubahan kurikulum 1968 menjadi
kurikulum 1975, antara lain karena belum berkembangnya paradigma Civics Education yang melandasi dan
memandu pengembangan kurikulumnya.
Keadaan
itu ternyata terus berlanjut sampai berubahnya Kurikulum PMP 1984 Menjadi
Kurikulum “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tahun 1994, yang
walaupun namanya mencangkup kajian pendidikan pancasila dan pendidikan
kewarganegaraan sesuai dengan undang-undang No.2 Tahun 1989, tetapi karakteristik kurikulernya
sangat kental dengan pendidikan moral pancasila, yang didominasi oleh proses Value Inculcation dan Knowledge
Dissemination. Di SD PPKn bertujuan untuk menanamkan sikap dan prilaku
dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan kepada nilai-nilai pancasla baik
sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat, dan memberikan bekal
kemampuan untuk mengikuti si SLTP” (Depdikbud,1993:1). Sementara itu di SLTP,
PPKn bertujuan untuk ”Mengembangkan pengetahuan dan kemampuan memahami dan
menghayati nilai-nilai pancasila dalam rangka pembentukan sikap dan prilaku
sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga Negara yang bertanggung jawab
serta memberi bekal kemampuan untuk mengikuti pendidikan di jenjang Pendidikan Menengah”. (Depdikbud,
1994:2). Sedangkan di SMU, PPKn
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pengembangan kemampuan memahami,
menghayati, dan meyakini nilai-nilai pancasila sebagai pedoman berprilaku dan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehinggan menjadi warga
Negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan, serta memberi bekal
kemampuan untuk belajar lebih lanjut (Depdikbud, 1994b:2).
PPKn
1994, secara paradigma sesungguhnya masih sama dengan PMP sebelumnya. Namun
prilaku demokratis yang cerdas dan religious, yang menjadi karakteristik Civics Education dalam masyarakat
madani, belum sepenuhnya berkembang dalam masyarakat Indonesia. Hal itu tampak
dalam berbagai gejala Lawlessness atau
ketidak patuhan hokum yang melanda semua lapisan masyarakat bangsa Indonesia
saat ini. Demokrasi ternyata kini lebih banyak diucapkan sebagai retorika
politik, dari pada diwujudkabn dalam prilaku bermasyarakat-bangsa dan bernegara
Indonesia.
Secara
konstitusional demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang Theistis atau Demokrasi yang berketuhanan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu pendidikan nilai bagi Indonesia seyogyanya berpijak pada nilai-nilai
keagamaan, nilai-nilai demokrasi yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa, dan Nilai
Sosial-Kultural yang Ber bhineka Tunggal Ika. Dalam konteks itu maka teori
perkembangan moral dari Piaget dan Kohlberg yang dapat diadaptasikan adalah
terhadap nilai moral sosial-kultural selain nilai yang berkenaan dengan
keyakinan atau aqidah keagamaan yang tidak selamanya dapat atau boleh
dirasionalkan.
Konsepsi
pendidikan nilai moral Piaget yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan
mengambil keputusan dan memecahkan masalah moral dalam kehidupan dapat
diadaptasikan dalam pendidikan nilai di Indonesia dalam konteks Demokrasi Konstitusional Indonesia dan
Konteks Sosial-Kultural Masyarakat Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika termasuk
alam keyakinan agama.
Konsepsi
pendidikan nilai moral Kohlberg yang menitikberatkan pada penalaran moral
melalui pendekatan klarifikasi nilai yang memberi kebebasan kepada individu
peserta didik untuk memilih posisi moral, dapat digunakan dalam konteks Pembahasan nilai selain nilai aqidah sesuai
dengan keyakinan agama masing-masing. Secara konseptual dapat digunakan
sebagai salah satu landasan bagi pengembangan paradigma penelitian perkembangan
moral bagi orang Indonesia.
Kerangka
Konseptual komponen Good Character
dari Lickona yang membagi karakter menjadi wawasan moral, perasaan moral, dan
prilaku moral dapat dipakai untuk mengklarifikasi nilai moral dalam
pendidikan nilai di Indonesia.
Semua
teori tersebut dapat digunakan sebagai sumber akademis dalam membangun Desain penelitian pendidikan nilai di
Indonesia dengan cara mengambil secara adaptif sesuai dengan konteks
sosial-kultural dan sosial-religius masyarakat Indonesia.
B.
KEGIATAN
BELAJAR 2
Pendidikan Nilai dan Moral dalam Standar
Isi PKn di SD
Menurut
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 “Mata Pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.” Adapun PKn bertujuan
agar para peserta didik dapat memiliki kemampuan sebagai berikut :
1. Berpikir
secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan
2. Partisipasi
secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, serta anti korupsi
3. Berkembang
secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan
bangsa-bangsa lainnya
4. Berinteraksi
dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak
langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi
Dalam
ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk pendidikan dasar
dan menengah, menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006 secara umum meliputi
substansi kurikuler yang di dalamnya
mengandung nilai dan moral, yakni :
1. Persatuan
dan Kesatuan Bangsa
meliputi : hidup rukun dalam perbedaan, sumpah pemuda,
partisipasi dalam pembelaan negara
2. Norma,
Hukum, dan Peraturan
meliputi : tertib dalam kehidupan
keluarga, norma yang berlaku di masyarakat, sistem hukum dan peradilan nasional
3. Hak
Asasi Manusia
meliputi : hak dan kewajiban anak,
instrument nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan
perlindungan HAM
4. Kebutuhan
Warga Negara
meliputi : kebebasan berorganisasi,
kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, persamaan
kedudukan warga negara
5. Konstitusi
Negara
Meliputi : proklamasi kemerdekaan,
konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan
6. Kekuasaan
dan Politik
Meliputi : pemerintahan desa dan
kecamatan, pemerintah derah dan otonomi, pemerintah pusat
7. Pancasila
Meliputi : kedudukan pancasila
sebagai dasar negara dan ideologi negara, pengalaman nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari
8. Globalisasi
Meliputi : politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan
organisasi internasional dan mengevaluasi globalisasi
Image.
struktur kurikulum SD 1
Khusus untuk SD / MI lingkup isi
Pendidikan Kewarganegaraan dikemas dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, yang secara sekuensial
diorganisasikan sebagai berikut.
Kelas I, Semester I
Kelas II, Semester I
Kelas II, Semester II
Kelas
III, Semester I
C. KEGIATAN BELAJAR 3
Hubungan
Interaktif Pengembangan Nilai dan Moral dalam PKn di SD
Konsep-konsep “value education, moral education, education for virtues” yang
secara teoritik, oleh Lickona (1992) diperkenalkan sebagai program dan proses
pendidikan yang tujuannya selain pengembangan pikiran, atau menurut Bloom untuk
mengembangkan nilai dan sikap. Pendidikan nilai, etika, moral sangat penting
sebagai salah satu wahana sosiopedagogis dalam menjamin kelangsungan hidup
masyarakat, bangsa, dan negara (berlandaskan pendapat dari Roosevelt dan
Honing). Tujuan dari pendidikan nilai moral yaitu agar peserta didik menjadi
melek etika, dan mampu berperilaku baik di dalam masyarakat.
Lickona (1992:6-7) berpandangan bahwa
pendidikan moral merupakan aspek yang esensial bagi perkembangan dan
berhasilnya kehidupan demokrasi. Pendidikan nilai dalam dunia barat adalah
pendidikan nilai yang bertolak dari dan bermuara pada nilai-nilai
sosial-kultural demokrasi.
Jean Piaget mengidentifikasikan bahwa
ada dua tingkat perkembangan moral pada anak usia antara 6-12 tahun yakni heteronomi dan autonomi. Pada tingkatan heteronomi segala aturan oleh anak
dipandang sebagai hal yang datang dari luar jadi bersifat eksternal dan
dianggap sakral karena aturan itu merupakan hasil pemikiran orang dewasa.
Sedangkan tingkatan autonomi anak mulai menyadari adanya kebebasan untuk tidak
sepenuhnya menerima aturan itu sebagai hal yang datang dari luar dirinya.
Piaget merumuskan perkembangan kesadaran
dan pelaksanaan aturan. Piaget membagi beberapa tahapan dalam dua domain
Tahapan pada domain kesadaran mengenai aturan dan pelaksanaan aturan.
Tahapan pada domain kesadaran mengenai
aturan :
1.
Usia 0-2 tahun :
Pada usia ini aturan dirasakan sebagai hal yang tidak bersifat memaksa
2.
Usia 2-8 tahun :
Pada usia ini aturan disikapi sebagai hal yang bersifat sakral dan diterima
tanpa pikiran
3.
Usia 8-12 tahun
: Pada usia ini aturan diterima sebagai hasil kesepakatan
Tahapan pada domain pelaksanaan aturan :
1.
Usia 0-2 tahun :
Pada usia ini aturan dilakukan sebagai hal yang hanya bersifat motorik saja
2.
Usia 2-6 tahun :
Pada usia ini aturan dilakukan sebagai perilaku yang lebih ber orientasi diri
sendiri
3.
Usia 6-10 tahun
: Pada usia ini aturan diterima sebagai perwujudan dan kesepakatan
4.
Usia 10-12 tahun
: Pada usia ini aturan diterima sebagai ketentuan yang sudah dihimpun
Kohlberg merumuskan adanya tiga tingkat (level) yang terdiri atas enam tahap (stage) perkembangan moral seperti
berikut.
1.
Tingkat I : Prakonvensional (Preconventional)
a.
Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan. Ciri
moralita pada tahap ini adalah apapun yang pada akhirnya mendapat pujian atau
hadiahi adalah baik, dan apapun yang pada akhirnya dikenai hukuman adalah
buruk.
b.
Tahap 2 : Orientasi instrumental nisbi. Ciri
moralita pada tahap ini adalah seseorang berbuat baik apabila orang lain
berbuat baik padanya, dan yang baik itu adalah sesuatu bila satu sama lain
berbuat hal yang sama.
2.
Tingkat II : Kovensional (Conventional)
a.
Tahap 3 : Orientasi kesepakatan timbal balik. Ciri
utama moralita pada tahap ini adalah bahwa sesuatu hal dipandang baik dengan
pertimbangan untuk memenuhi anggapan orang lain baik atau baik karena memang
disepakati.
b.
Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban. Ciri
utama moralita pada tahap ini adalah bawa sesuatu hal yang baik itu adalah yang
diatur kewajiban sesuai dengan norma hukum tersebut.
3.
Tingkat III : Poskonvensional (Postconventional)
a.
Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial legalistik.
Ciri utama moralita adalah bahwa sesuatu dinilai baik bila sesuai dengan
kesepakatan umum dan diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran konsensual.
b.
Tahap 6 : Orientasi prinsip etika universal. Ciri
utama moralita pada tahap ini adalah bahwa sesuatu dianggap baik bila telah
menjadi prinsip etika yang bersifat universal dari mana norma dan aturan
dijabarkan.
Tugas guru adalah membelajarkan
kebajikan itu melalui percontohan dan komunikasi langsung keyakinan serta
memfasilitasi peserta didik untuk melaksanakan kebajikan itu dengan memberinya
penguatan.
Pendekatan pendidikan nilai yang
ditawarkan oleh Kohlberg sama dengan yang ditawarkan Piaget dalam hal fokusnya
terhadap perilaku moral yang dilandasi oleh penalaran moral, namun berbeda
dalam hal titik berat pembelajarannya di mana Piaget menitikberatkan pada
pengembangan kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah, sedangkan
Kohlberg menitikberatkan pada pemilihan nilai yang dipegang terkait dengan
alternatif pemecahan terhadap suatu dilema moral melalui proses klarifikasi
bernalar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
:
1. Konsepsi pendidikan nilai moral piaget
yang menitik beratkan pada pembangunan kemampuan mengambil keputusan dan
memecahkan masalah moral dalam kehidupan dapat diadaptasi dalam pendidikan
nilai di Indonesia dalam konteks demokrasi konstitusional Indonesia dan konteks
sosial-kultural masyarakat Indonesia yang berBhineka Tunggal Ika termasuk dalam
keyakinan agama. Konsepsi pendidikan nilai moral kohlberg yang
menitik beratkan pada penalaran moral melalui pendekatan klarifikasi nilai yang
member kebebasan kepada individu peserta didik untuk memilih posisi moral,
dapat digunakan dalam konteks pembahasan nilai selain nilai aqidah sesuai
dengan keyakinan agam masing-masing. Konsepsi dapat digunakan sebagai salah
satu landasan bagi pengembangan paradigm penelitian perkembangan moral bagi
warga Indonesia.
2. Dalam ruang lingkup mata pelajaran
PKN untuk pendidikan dasar dan menengah, menurut Permendiknas NO.22Tahun 2006
secara umum meliputi subtansi kurikuler yang didalannya mengandung nilai dan
moral sebagai berikut : Persatuan dan Kesatuan bangsa ,Norma , hukum dan
peraturan ,Hak Asasi Manusia ,Kebutuhan warga negara ,Kostitusi Negara ,
Kekuasaan dan Politik, Pancasila ,Globalisasi
3. Hubungan interaktif proses
pengembangan nilai dan moral dengan proses pendidikan di sekolah harus dilihat
dalam paradigma pendidikan nilai secara konseptual dan operasional.
Konsep-konsep “values education, moral education, education of virtues”
yang secara teoritik oleh Lickona (1992) diperkenalkan sebagai program dan
proses pendidikan yang tujuannya selain mengembangkan pikiran atau menurut
Bloom untuk mengembangkan niali dan sikap.
DAFTAR RUJUKAN
Udin S. Winataputra, 2018, Pembelajaran PKN di SD (Tangerang:
Universitas Terbuka)
makasih ka atas ilmunya... sangat bermanfaat sekali...
BalasHapus